Wednesday, January 25, 2012

Skouw, Sebuah Cerita Perbatasan



Pos Militer Terakhir Tentara RI di Perbatasan PNG

Teringat saya, akan kisah saya pada waktu SD. Kala itu guru saya mengadakan semacam kontes untuk menyemangati anak-anak didiknya. Kontesnya adalah dia mengadakan ulangan dadakan dan siapa yang mendapat nilai tertinggi akan mendapatkan uang sebesar Rp. 200,- (Dua Ratus Rupiah saja). Lumayan jg pada saat itu cukup untuk uang jajan sehari (Uang  jajan saya sehari ketika itu kayaknya masih Rp. 50,-). 

Di akhir ujian ternyata saya dan salah seorang teman saya yang memiliki nilai tertingi, kemudian guru saya pun terpaksa mengadakan babak tambahan untuk menentukan siapa pemenang diantara kami melalui satu pertanyaan final. pertanyaan guru saya ketika itu adalah, apakah ibu kota Papua Nugini, teman saya pun terdiam karena tidak tahu. Dan karena saya tertarik dengan ilmu geographi dan kebanyakan melihat peta, tentu ini pertanyaan mudah buat saya, lantas saja dengan suara nyaring saya jawab “Port Moresby pak !”. Akhirnya sayalah pemenang dalam kontes itu (Mungkin itu adalah kejuaran pertama yang saya menangkan hahaeeeeee) .



18an tahun berlalu setelah peristiwa itu, akhirnya saya menginjakan kaki di Papua Nugini (Walaupun hanya beberapa meter saja dari Indonesia). Yah, Skouw adalah daerah perbatasan antara RI dan PNG. Seperti kebanyakan daerah di Jayapura untuk menuju ke Perbatasan Skouw kita harus melalui jalan yang berbukit-bukit dan penuh misteri khas Papua.

Kami juga melalui berbagai daerah transmigrasi di Koya barat, koya timur dan Muaratami. Daerah-daerah transmigrasi yang juga berselingan dengan daerah-daerah masyarakat asli Papua. Mereka hidup berdampingan dalam ke Indonesiaan. Banyak pedagang-pedagang dari transmigran jawa yang menjual hasil bercocok tanamnya seperti jagung, singkong dan sebagainya yang juga bercampur dengan penduduk asli yang juga berjualan pinang, keladi dsb.


Jalan Di Desa Nafri ke arah perbatasan

Sebelum memasuki perbatasan RI –PNG terdapat dua pos militer milik TNI yang harus kita lewati. Normalnya sih di pos pertama kita harus menyerahkan KTP dan mohon ijin kepada petugas perbatasan dan di pos kedua yang kembali meminta ijin dari petugas perbatasan. Lalu masuklah kita ke daerah Papua Nugini.  Sampai di Gerbang Negara Papua Nugini kita harus memarkir mobil atau kendaraan lainnya dan kemudian berjalan kaki masuk PNG. Sebuah gapura besar bertuliskan Welkam long Papua niugini (Selamat datang di Papua Nugini) menyambut kita di pintu gerbang negara tersebut.


Gerbang Masuk PNG

Kampung Wutung (PNG) adalah kampung pertama yang berbatasan dengan distrik Muaratami (di sisi Indonesia). Kampung sederhana di tepi pantai ini terlihat dari kejauhan, hampir sama persis dengan Jayapura kalo dilihat dari perbukitan-perbukitannya. Hanya saja masih lebih maju Jayapura, karena mungkin ini hanyalah sebuah kampung sedangkan Jayapura adalah sebuah kota ibukota provinsi. Para pedagang PNG menjual sovenir-sovenir khas negaranya dengan motif-motif khas bendera PNG dikampung ini. Para pedagang ini juga bisa berbahasa Indonesia karena mungkin sudah sering berinteraksi dengan penduduk Indonesia.

Penjual Souvenir khas PNG

Wutung Village



Kampung Wutung PNG dari kejauhan

 
Sepulang dari perbatasan kami menyempatkan diri untuk menemui para anggota TNI yang bertugas menjaga perbatasan di kedua Pos TNI perbatasan. Mereka bercerita mengenai suka duka nya bekerja sebagai prajurit penjaga perbatasan, dari mulai harus jauh dari keluarga sampai cerita malaria yang sampai hari ini tetap masih menghantui seluruh wilayah Papua.  Seorang Komandan bercerita mengenai susahnya mendapatkan bensin dengan harga murah di perbatasan, untuk menyalakan genset listrik. Mereka harus berkendara sampai ke Abepura untuk mendapatkan bensin seharga 4.500/liter (Harga Indonesia) dikarenakan jika membeli di PNG untuk mendapatkan bensin sebotol air mineral kecil saja harganya sudah 3 kina (1 kina = 3.800,-) jadi dia harus mengeluarkan uang 11ribuan untuk bensin tidak sampai seliter di PNG. Hilang sudah kebanggaan saya akan kemajuan RI atas PNG ketika mendengar 1 kina =Rp. 3.800 kecil bgt ya nilai uang kita. Yah tapi itulah fakta yang harus diterima.

Coca Cola PNG Made



Stengah jam bincang-bincang berlalu, dan rombongan kamipun kmudian mohon pamit karna hari sudah mulai sore. Tapi cerita ini, cerita perbatasan. Memberikan saya pemahaman betapa luasnya Indonesia dan betapa kita tetap harus berbangga sebagai Indonesia yang berbeda-beda tetapi satu jua. Betapa sudah banyak nya modal harta dan nyawa yang keluar untuk mempertahankan Indonesia dari Aceh sampai Papua, dari sabang Sampai Merauke.

Sampai saat ini kita Indonesia mungkin masih banyak kalahnya jika di bandingkan dengan negara-negara seperti Singapura dan Malaysia bahkan Thailand dalam segala sektor terutama sektor Ekonomi. Tapi paling tidak kita kalah dengan terhormat dan dengan cara yang elegan. Kita kalah dalam prinsip yang keren Unity in diversity (Persatuan dalam perbedaan).

Berfoto bersama mama-mama PNG



Di Gerbang Perbatasan



0 komentar:

Post a Comment